Selasa, 14 Oktober 2008

Ritual Bakar Tongkang Penuh Pesan Sejarah

RITUAL Bakar Tongkang hingga tahun 2008 ini telah berumur 138 tahun. Seperti biasanya selalu dibanjiri oleh orang-orang Tiong Hoa. Replika kapal atau Tongkang diarak sekitar pukul 15.10 WIB menuju Jalan Perniagaan dari kelenteng Ing Hok King. Arak-arakan ini diikuti ribuan masyarakat Tiong Hoa.
Setiap tahunnya Ritual Bakar Tongkang ini selalu memancing wisatawan luar yang ramai bertaburan di sepanjang jalan menuju lokasi pembakaran. Disebutkan, arak-arakan malah sempat tertunda sekitar satu jam karena banyaknya suhu kelenteng dalam prosesi penghormatan dan sempitnya ruang gerak arak-arakan Tongkang yang akan dibakar.
Peringatan acara Bakar Tongkang, sebenarnya ada sesuatu yang terkandung di dalamnya, yaitu ingin melaksanakan sembahyang untuk mendapatkan berkat, keberuntungan, kemudahan rezeki, sekaligus menyampaikan pesan sejarah. Tapi juga terdapat potensi pariwisata.
Sedikitnya, ada sekitar 10.000 wisatawan nusantara dan mancanegara akan berkunjung ke Bagan saat ritual itu. Mereka selain melaksanakan ritual sembahyang, bakar hio, bakar kim, juga ikut dalam iring-iringan tongkang ke lokasi pembakarannya di Jalan Perniagaan Ujung Bagansiapi- api.
Ritual Bakar Tongkang penuh dengan pesan sejarah masa lalu tentang kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia, khususnya ke Bagansiapi-api, Riau. Marga Ang dari etnis Tionghoa merupakan orang pertama menginjakkan kakinya di tanah Bagan tahun 1826 masehi, kala itu Bagan masih ditumbuhi rimba dan hutan yang lebat. Saat itu tidak ada kehidupan masyarakat di muara Sungai Rokan tersebut.
Dengan menggunakan tiga tongkang, atau kapal layar terbuat dari kayu, marga Ang yang terdiri dari 18 orang, satu di antaranya perempuan, berlayar ke Bagan tahun 1826 masehi. Mereka ini sebelumnya adalah penduduk asli Republik Rakyat China yang migran ke Desa Songkla Thailand tahun 1825 masehi.
Ketika pecah kerusuhan di Desa Songkla Thailand antara warga Desa Songkla dengan etnis Tionghoa ini tahun 1825 masehi, etnis Tionghoa menyelamatkan diri pindah ke Bagan dengan tiga tongkang kayu mengarungi lautan. Di tengah perjalanan di laut, dua tongkang tenggelam, dan satu tongkang selamat berlabuh di Bagan.
Sebelum tiba di Bagan mereka berlabuh terlebih dahulu di Kerajaan Kubu. Namun karena merasa kurang aman, akhirnya etnis Tionghoa ini pindah ke daratan Bagan. Satu tongkang yang selamat, menurut kisahnya disebabkan karena terdapat patung Dewa Tai Sun di haluan tongkangnya, yaitu satu-satunya dewa tak punya rumah, yang hidupnya hanya menggembara. Sedangkan dewa Ki Ong Ya diletakkan di rumah kapal (magun). Karena ada kedua dewa ini di dalam tongkang, maka selamatlah mereka menempuh perjalanan yang penuh tantangan itu. Sejarah ini dikisahkan oleh salah seorang tokoh masyarakat Tionghoa Bagan, Abeng kepada pers beberapa hari lalu di Bagansiapi-api.
Selanjutnya, di daratan Bagan saat mereka menginjakkan kakinya sekitar tahun 1826 masehi, ada tiga kerajaan Riau yang telah berdiri lebih dahulu yaitu Kerajaan Kubu, Kerajaan Tanah Putih, dan Kerajaan Batu Hampar. Kendati demikian etnis Tionghoa ini lebih nyaman menetap di Bagan, di muara Sungai Rokan sekarang di pinggir pelabuhan. Di sini mereka membangun pemukiman tradisional, termasuk membangun Bang Liau (gudang penampungan ikan). Disini juga dibuat pelataran untuk menjemur ikan asin. Selain itu mereka juga membuat dok kapal kayu, yaitu tempat pembuatan kapal yang digunakan untuk menangkap ikan. Kapal kayu terbuat dari jenis kayu leban. Selanjutnya agak ke daratan Bagan etnis Tionghoa ini membangun klenteng Ing Hok Kiong.
Populasi etnis Tionghoa di kawasan ini terus bertambah dari tahun ke tahun. Sekitar tahun 1926 masehi mereka secara terstruktur mulai mengadakan peringatan tentang sejarah kedatangan mereka ke tanah Bagan, yaitu dengan menggelar sembahyang bakar tongkang di klenteng Ing Hok Kiong.

Tidak ada komentar: